Transisi antara proses perencanaan
kurikulum di tingkat mikro yang lebih sempit cakupan dan dimensi
permasalahannya tidak semata-mata berarti perpindahan lembaga pengambil
keputusan dan pergeseran dari masalah nasional ke masalah lokal di
masing-masing sekolah. Untuk dapat menjabarkan misi dan tujuan umum yang sudah
ditetapkan sebagai hasil analisi makro ke dalam wujud operasional kurikulum
sekolah, haruslah dipahami terlebih dahulu konsep dan strategi penentuan isi
kurikulum sekolah. Konsep dan strategi ini sudah semestinya merupakan
penjabaran dari orientasi atau penekanan utama dari kurikulum pendidikan
teknologi dan kejuruan, yaitu relevensi baik terhadap konteks pendidikan maupun
konteks lapangan kerja.
Relevensi kurikulum terhadap konteks
pendidikan berkaitan dengan persoalan- persoalan yang menyangkut dukungan
masyarakat kependidikan, ketersediaan tenaga guru dan jajaran kependidikan yang
lain untuk mendukung implementasi kurikulum, kualitas masukan calon siswa dan
aspirasi pendidikannya, dan juga hal- hal yang menyangkut administrasi akademik
pelaksanaan kurikulum tersebut.
Relevansi kurikulum terhadap konteks
lapangan kerja menyangkut persoalan- persoalan yang berkaitan dengan daya
dukung masyarakat dunia kerja baik dalam hal ketersediaan bantuan fisik maupun
non fisik, kemungkinan pengumpulan sumber informasi untuk masukkan perencanaan
dan penyempurnaan kurikulum, serta ketersediaan masyarakat dunia usaha dan
industri untuk membantu sebagai anggota dewan penasehat kurikulum (advisory
committee).
Kedua aspek di atas jarang menimbulkan
adanya tekanan-tekanan yang mempengaruhi proses penentuan isi kurikulum dan
penjabarannya ke dalam pelaksanaan operasional. Belum lagi dipertimbangkan masalah
kebutuhan individu anak didik yang untuk berbagai jenjang pendidikan akan
sangat berbeda. Terlepas dari faktor-faktor tersebut di atas, strategi
penentuan isi kurikulum sangat menentukan sejauh mana kurikulum yang akan
dihasilkan nantinya mampu menjawab permasalahan yang melingkupi mekanisme
pengembangan sumber daya manusia sekaligus mekanisme penyediaan tenaga kerja
dengan memadai.
Dalam uraian berikut akan dibahas
beberapa strategi yang banyak dimanfaatkan oleh para perencana kurikulum untuk
mengidentifikasi isi kurikulum. Akan dibahas berturut-turut:
1. Pendekatan
filosofis
2.
Pendekatan introspektif
3.
Pendekatan DACUM
4.
Pendekatan fungsional
5. Analisis
tugas (task analysis)
Tidak ada satupun pendekatan yang mampu
secara sempurna memenuhi kebutuhan dan tujuan perencanaan kurikulum pendidikan
teknologi dan kejuruan. Dengan membahas berbagai strategi tersebut diharapkan
akan dipergunakan suatu pendekatan khusus yang lebih merupakan sintesis dari
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing pendekatan. Dengan kata
lain, apa yang diuraikan di bawah bukanlah semacam pedoman selangkah demi
selangkah , namun merupakan suatu komparasi strategi yang satu dengan yang lain
dengan harapan dapat diketahui kelemahan dan kelebihan masing-masing. Ini akan
berguna untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan yang sebenarnya
dilakukan di masing-masing lembaga teknologi dan kejuruan.
Pendekatan Filosofis
Dalam sejarah penentuan isi kurikulum,
pemikiran para ahli filsafat pernah menjadi faktor dominan dalam penentuan isi
kurikulum pendidikan. Bahkan di masyarakat yang belum mendapatkan strategi yang
lebih sistematis dan obyektif, pendapat yang bukan ahli filsafat pun dapat
mendominasi penentuan isi kurikulum. Ini jelas nampak pada kurikulum yang
dijabarkan dari filsafat seseorang, misalnya seorang pejabat atau orang
terkemuka dalam masyarakat, yang mempunyai keyakinan akan “apa yang baik” dan
“apa yang buruk”, apa yang patut dilestarikan dan apa yang harus ditinggalkan,
apa yang “penting” untuk masa depan dan apa yang “kurang penting”, yang
kesemuanya lalu dijabarkan menjadi isi kurikulum yang mengisi program
pendidikan di sekolah. Tidak jarang filsafat perorangan yang terpandang di mata
masyarakat akan menjadi satu-satunya sumber inspirasi untuk menentukan misi
sistem pendidikan dan perencanaan isi kurikulum.
Secara praktis dapat dikatakan bahwa
filosofi adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau
kelompok yang kemudian mendasari segenap sikap dan perbuatannya. Ini membawa
implikasi bahwa antara seseorang dengan orang lain banyak terdapat kemungkinan
perbedaan filosofi, karena tumbunhnya filosofi itu merupakan proses kompleks
yang dipengaruhi banyak faktor.
Dengan demikian perencanaan isi
kurikulum dengan berdasarkan filosofi ini salah satu kelemahannya adalah
sulitnya menemukan konsensus atau kesepakatan antara para ahli atau para
perencana kurikulum tentang pemikiran-pemikiran mereka yang berkenaan dengan
“apa yang seharusnya diajarkan di sekolah kejuruan?”.
Dalam literatur banyak sekali dijumpai
pernyataan-pernyataan filosofi yang berkenaan dengan pendidikan teknologi dan
kejuruan dan dari pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dapat dijadikan
petunjuk menentukan isi kurikulum sekolah. Sebagai contoh sederhana, apabila
diyakini bahwa pendidikan kejuruan harus menekankan penyesuaian anak didik
dengan jenis pekerjaan yang ada di lapangan kerja, maka isi kurikulumnya bisa
diramlkan akan sangat didominasi oleh penumbuhan kemampuan-kemampuan
transisional seperti bagaimana beradaptasi dengan lingkungan, bagaimana
mengatasi problem mobilitas pekerjaan, dan kemampuan berhubungan dengan sesama
orang (human relations skill).
Di lain pihak, apabila pendidikan
kejuruan diyakini sebagai pendidikan yang menyiapkan anak didik untuk dapat
memasuki beberap lapangan kerja sejenis (occupational clusters), maka dapat
diharapkan isi kurikulumnya akan banyak mencakup aspek-aspek kemampuan dasar
teknis yang relatif umum dan dapat digeneralisasikan ke beberapa lapangan
pekerjaan yang sejenis. Kemampuan seperti itu dapat diperoleh lewat mata
pelajaran seperti matematika, sains, komunikasi, dan dasar-dasar keteknikan
yang hampir pasti diperlukan di semua jenis pekerjaan. Dil lain pihak,
proposisi kemampuan khusus atau spesialisasi tidak akan begitu menonjol, karena
penonjolan bidang spesialisasi akan dianggap bertentangan dengan pemikiran
filosofi yang dianut.
Contoh lain yang senada adalah adanya
keyakinan filosofis bahwa pendidikan kejuruan pada dasarnya adalah bukan
pendidikan terminal tetapi salah satu mata rantai dari serangkaian upaya
pendidikan yang bersifat developmental. Ini akan membawa konsekuensi langsung
dalam menentukan mata pelajaran yang menjadi isi kurikulumnya. Akan
kontradiktif misalnya jika filosofi ini kemudian dijabarkan menjadi kurikulum
yang isisnya tidak memungkinkan sama sekali bagi kelulusan sekolah kejuruan
untuk melanjutkan belajar ke tingkat yang lebih tinggi.
Sifat developmental yang terkandung
dalam rumusan filosofis di atas menghendaki adanya komponen kurikulum yang
membekali anak didik bukan saja untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi,
tetapi bahkan lebih luas lagi ke kemampuan untuk dapat terus belajar baik
melalui jalur pendidikan formal maupun memanfaatkan jalur pendidikan yang lain
di luar sekolah formal, seperti misalnya konsep belajar sambil bekerja.
Dengan adanya beberapa contoh di atas
nampak suatu gambaran bahwa penentuan isi kurikulum berlandaskan pemikiran
filosofis ini selain mengandung konotasi subyektif atau kurang obyektif, juga
sering mengalami kesulitan teknis dalam mengidentifikasi perangkat pemikiran
filosofis yang komprehensif dan merupakan konsensus paling tidak di antara
mereka yang terlibat dalam pendidikan teknologi dan kejuruan itu sendiri.
Sifat komprehensif dituntut jika
diinginkan kurikulum yang merupakan suatu kebulatan integral, tidak
terpotong-potong sehingga membuka kemungkinan kontradiksi antara maksud dan
tujuan mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya. Kesepuluh butir landasan
konseptual yang dikemukakan di Bab III dapat saja dipandang sebagai
pemikiran-pemikiran dasar atau keyakinan-keyakinan yang tumbuh dari analisis
konteks dunia pendidikan dan dunia kerja yang kemudian berkembang menjadi
filosofi. Dari sini diharapkan dapat dijabarkan isi kurikulum yang nantinya
dapat dikembalikan kepada sumber analisis yang menghasilkan pemikiran-pemikiran
dasar tersebut.
Sifat konsensus diperlukan dan tidak
kalah pentingnya karena suatu usaha besar untuk meningkatkan efektivitas dan
mengembangkan pola peran serta pendidikan kejuruan di era pembangunan ini hanya
mungkin dapat terlaksana jika ada keyakinan dan diyakini oleh orang-orang yang
terlibat di dalam sistem(shared beliefs). Ini akan dapat memberikan landasan
yang kokoh untuk implementasi, keseragaman, kerangka berpikir yang menunjang
arah dan orientasi pengembangan, serta kesamaan pandangan dalam menentukan apakah
tujuan yang dicanangkan bersama sudah dapat tercapai.
Pendekatan Introspektif
Agak berbeda dengan pendekatan filosofis
yang diuraikan di atas, pendekatan introspektif masih juga mendasarkan
penentuan isi kurikulm pada hasil pemikiran dan perasaan bagi merka yang
terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan teknologi dan kejuruan,
seperti misalnya para guru dan administrator yang sehari-harinya bekerja di
lingkungan sekolah kejuruan. Mereka ini secara individual maupun secara
berkelompok merenungkan kembali apa yang sebaiknya merka anggap baik untuk
dimasukkan sebagai isi kurikulum sekolah, dengan mempertimbangkan pengalaman
dan informasi yang langsung dapat mereka kumpulkan dan diolah sesuai dengan
konteks dimana mereka bekerja.
Biasanya pemikiran ini dimulai dengan
mempelajari apa yang selam ini sudah berjalan, mungkin dengan dibumbui data
komparatif dengan program yang serupa di tempat lain dalam suatu negara maupun
dibandingkan dengan negara lain, meskipun hanya lewat literatur. Dengan
sendirinya katalog sekolah, buku laporan tahunan atau sumber informasi lain
melalui jurnal atau majalah termasuk dalam kajian komparatif ini untuk
memperluas wawasan sebelum para guru dan administrator tersebut sampai pada
langkah pengambilan kepurusan tentang isi kurikulum mereka.
Kecenderungan untuk bekerja dalam
kelompok dan kemudian secara bersama memikirkan masalah ini timbul dari
kenyataan praktis bahwa beberapa orang guru lebih berpengalaman dan mempunyai
latar belakang pekerjaan yang lebih banyak dari sebagian yang lain, sehingga
keragaman masukan ini akan memperkaya bahan pertimbangan bersama. Lagi pula
dengan adanya diskusi kelompok akan melibatkan beberapa orang akan terhindar
adanya subyektif atau bias.
Meskipun cara pendekatan ini sudah lebih
baik dari pada pendekatan filosofis dalam arti lebih dekat dengan situasi
persekolahan yang akan digarap, namun karena yang terlibat dalam proses
tersebut terbatas dari kalangan dalam, biasanya tidak dapat dijamin baha isi
kurikulum yang dihasilkan akan dapat valid dalam arti memenuhi apa yang
dibutuhkan oleh calon pemakai. Ini akan sangat terasa apabila para guru dan
administrator tersebut kebetulan kurang mengikuti apa yang terjadi di luar
dinding sekolah, sehingga tidak atau kurang dapat menyesuaikan dengan perkembangan
dunia luar. Apa yang merka anggap sudah baik selama ini, karena tidak pernah
dikaji relevansinya secara langsung dengan kebutuhan dunia luar, dengan
sendirinya tidak menjamin hasil yang diharpkan.
Hal ini kembali mengingatkan pentingnya
guru dan administrator pendidikan teknologi dan kejuruan mengembangkan sikap
atau kebiasaan belajar langsung dengan mengunjungi lokasi-lokasi industri
secara periodik, sebagai bagian dari pemeliharaan atau pemantapan tingkat
profesionalisasi merka sebagai guru. Hanya dengan demikian pemikiran, sikap,
dan pengetahuan merka tentang dunia kerja dapat kemudian ditarnsfer menjadi
perilaku mengajar dan kompetensi lain yang menunjang, termasuk partisipasi
aktif mereka dalam memikirkan masalah kurikulum.
Untuk menghindari kelemahan ini dapat
ditempuh jalan melibatkan personalia dari industri atau dunia usaha dalam dewan
penasehat kurikulum (curriculum advisory committee). Ini secara praktis akan
mendekatkan hubungan antara sekolah dan dunia kerja melalui kontak perorangan
berupa hubungan dekat antar pribadi, dan sekaligus memberi lebih banyak peluang
untuk mendiskusikan masalah isi kurikulum dengan para pemakai tenaga lulusan
pendidikan teknologi dan kejuruan. Kemacetan yang timbul pada advisory
committee ini lebih banyak disebabkan karena hubungan pribadi yang kurang
harmonis antar para anggotanya, yang seharusnya dapat dihindari demi
kepentingan yang lebih besar.
Pendekatan DACUM
Variasi lain pendekatan introspektif
adalah apa yang dikembangkan oleh para ahli kurikulum di Canada dalam penentuan
isi kurikulum, yaitu yang disebut DACUM (Developing A Curriculum). Proyek
pengembangan berwal dari usaha bersama antara Departemen Tenaga Kerja dan
Imigrasi dengan General Learning Corporation di Canada, tetapi kemudian
diseminasinya dilaksanakan di banyak lembaga pendidikan kejuruan.
Menggunakan gagasan yang persis sama
dengan pendekatan introspektif di atas, para ahli yang diminta untuk memikirkan
isi kurikulum ini didatangkan khusus dari para pengusaha atau pekerja dari
industri dan dunia usaha dengan tanpa melibatkan personil sekolah sama sekali.
Ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam proses penentuan isi kurikulum
pendidikan teknologi dan kejuruan yang diharapkan mempunyai relevensi yang
tinggi dengan kebutuhan lapangan kerja, biasanya guru dan instruktur yang
sehari-hari terlibat dalam mengajar saja kurang dapat memberi kontribusi yang
positif.
Keunikan lain dari proses identifikasi
isi kurikulum dengan pendekatan DACUM ini ialah urutan dan intensitas
partisipasi peserta yang harus ditargetkan sedemikian rupa sehingga yang
dihasilkan selama proses tersebut bukan terbatas hanya pada inventarisasi skill
atau pengetahuan spesifik yang akan menjadi kerangka isi kurikulum, tetapi juga
akan sampai pada tingkat kemahiran atau kompetensi sesuai dengan apa yang
diperlukan dalam situasi kerja yang nyata. Ini adalah kelebihan dari cara
pendekatan yang seluruhnya melibatkan pihak pengusaha dari industri dan dunia kerja. Urutan prosesnya
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Orientasi
bagi anggota komisi atau peserta tentang program yang akan direncanakan
kurikulumnya dan apa yang diharapkan dari mereka.
2.
Mengkaji/ mereview deskripsi pekerjaan
dan tugas atau tanggung jawab pekerjaan tersebut dalam situasi tempat kerja
yang real.
3.
Mengidentifikasi kategorisasi kompetensi
umum dalam bidang kerja yang dimaksud, yang biasanya merupakan ranah kompetensi
yang nanti akan dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam kompetensi-kompetensi
yang lebih spesifik.
4.
Mengidentifikasi seperangkat kompetensi
khusus dalam tiap kategori kompetensi umum, baik yang berwujud skill,
pengetahuan, atau ketrampilan tertentu.
5.
Mengorganisir kompetensi-kompetensi
tersebut dalam urutan atau struktur yang memungkinkannya dapat dijabarkan
menjadi urutan belajar yang sesuai dengan prinsip dan psikologi belajar.
6. Menentukan
tingkat kelengkapan atau ”level of competence” untuk masing-masing kompetensi
sebagai acuan proses penilaian hasil belajar anak didik.
Keenam langkah atau urutan proses
tersebut selalu dilakukan dengan memaparkannya secara keseluruhan sehingga
dapat dilihat oleh semua peserta dalam suatu ruangan yang diatur khusus. Dengan
demikian dapat dimungkinkan pertukaran gagasan dan pendapat sebanyak mungkin
untuk juga menghindari adanya saling tumpang tindih antara satu kompetensi
dengan yang lain.
Keuntungan dari proses perencanaan isi
kurikulum pendidikan teknologi dan kejuruan menggunakan pendekatan DACUM ini
ialah:
1. Biaya
pengembangan yang relatif murah, apalagi kalau dari pihak industri dan dunia
usaha bersedia “meminjamkan” ahlinya dengan cuma-cuma sebagai akibat baiknya
hubungan yang sudah terjalin sebelumnya.
2.
Waktu yang relatif singkat dengan hasil
yang langsung bisa dipakai, karena biasanya sikap kerja efisien dan konsentrasi
yang tinggi yang dimiliki oleh orang-orang dari industri dan dunia usaha
tersebut terbawa pada waktu mereka bekerja sebagai anggota komisi DACUM.
3. Peluang
untuk menghasilkan kurikulum yang tinggi relevansinya dengan kebutuhan dunia
kerja karena minimalnya intervensi dari kalangan akademik.
Namun yang menjadi tantangan berikutnya
adalah kemampuan para guru dan administrator untuk menerapkan apa yang sudah
diidentifikasi tersebut dan
menjabarkannya menjadi kegiatan instruksional yang dapat dilaksanakan dalam
konteks kependidikan yang mempunyai iklim dan peraturan-peraturan tersendiri.
Ini memerlukan tidak saja keberanian mental tetapi juga kejelian untuk
memanfaatkan segenap peluang yang ada agar hasil sumbangan para ahli di luar
kalangan pendidikan tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan, karena pihak yang
membantu tentu tidak akan bersedia membantu lagi jika hasil jerih payah sekedar
menjadi dokumen tertulis yang tidak dapat diimplementasikan.
Dalam halaman berikut diutarakan suatu
contoh hasil perangkat kompetensi yang dihasilkan dari proses DACUM, meskipun
karena keterbatasan ruang tidak dapat dicantumkan semua. Setiap kompetensi yang
merupakan blok-blok dalam profil DACUM tersebut adalah kompetensi yang harus
dikuasai oleh anak didik lengkap dengan keterangan tentang level atau tingkat
penguasaan dan yang nantinya harus dijabarkan oleh para guru dan instruksi
menjadi kegiatan atau pengalaman belajar yang secara efektif dapat membantu
anak didik menguasai kompetensi yang dimaksud.
Pendekatan Fungsional
Kedua pendekatan yang dikatatengahkan di
atas boleh dikatakan cenderung ke penentuan isi kurikulum secara subyektif,
dimana subyektifitas para penyusun kurikulum itu dapat dikatakan lebih
menonjolkan dari pada faktor-faktor lainnya. Dalam pendekatan fungsional yang
akan diuraikan ini maka yang terjadi adalah fungsional yang akan diuraikan ini
maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu penentuan isi kurikulum dilakukan
dengan cara yang lebih obyektif. Pendekatan ini didasari oleh asumsi bahwa
peserta didik yang belajar melalui pendidikan teknologi dan kejuruan harus
mempelajari fungsi-fungsi apa yang harus ada untuk menjamin kelangsungan kerja
suatu industri atau dunia usaha tertentu, dan kemudian dijabarkan menjadi
penampilan-penampilan (performance) yang terkait dengan fungsi atau tugas
tertentu untuk dijadikan masukan bagi perencana kurikulum.
Sebagai contoh identifikasi fungsi yang
berkaitan dengan bidang kerja pertanian atau peternakan mungkin akan
menghasilkan inventarisasi fungsi-fungsi seperti:
·
Menjual hasil produksi langsung di
pasaran bebas
·
Mengenal tanda-tanda dini gangguan
kesehatan binatang ternak
·
Merencanakan sistem pemberian makanan
ternak yang efisien dan memenuhi syarat kesehatan serta kebersihan lingkungan.
·
Mengelola kebun pembibitan sayur mayur
tropis.
Hal-hal seperti tersebut di atas adalah
fungsi-fungsi pekerjaan di industri pertanian atau peternakan yang mempunyai
jangkauan luas, tidak terbatas pada skill-skill spesifik. Dari langkah
identifikasi ini kemudian dapat dirinci lagi menjadi daftar kegiatan-kegiatan
dalam setiap fungsi, untuk kemudian dikaitkan dengan kompetensi atau
keterampilan yang harus dimiliki oleh orang yang akan mengerjakan
kegiatan-kegiatan tersebut. Kompetensi ini dirumuskan baik dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan tingkat yang bervariasi.
Selanjutnya kompetensi-ompetensi atau
kemampuan pemahaman atau yang lain ini dikelompokkan menurut klasifikasi
tertentu yang nati akan membantu guru dan instruktur dalam menyusun pengalaman
belajar atau kombinasi kegiatan belajar yang akan membantu anak didik
memperoleh kompetensi-kompetensi tersebut. Inilah yang kemudian harus
dikembalikan ke komisi yang terdiri dari wakil-wakil pihak industri, pihak
sekolah dan pihak-pihak yang lain yang terkait untuk peninjauan menyeluruh dan
verifikasi lanjut tentang ketepatan dan kelayakan.
Meskipun pendekatan ini secara sekilas
nampaknya menempatkan sekolah atau dunia pendidikan pada ujung ketergantungan
pada dunia usaha atau dunia industri dan penentuan isi kurikulum sangat
diorentasikan ke lapangan yang ada, namun sebenarnya dengan hanya
mengidentifikasi fungsi-fungsi umum tidaklah tepat jika dikatakan sekolah
hanyalah menjadi kepanjangan tangan industri. Di sini ada kemungkinan bahwa
kompetensi umum untuk beberapa cabang pekerjaan yang termasuk dalam kelompok
sejenis justru akan menjamin keluasan pilihan bagi anak didik yang telah
menyelesaikan program pendidikannya. Salah satu kelemahan pokok adalah lamanya
waktu pelaksanaan dan konsekuensi biaya yang tinggi yang diakibatkan oleh
proses yang panjang itu.
Pendekatan Analisis
Tugas
Diantara sekian banyak cara atau
pendekatan yang digunakan untuk menentukan isi kurikulum, mungkin pendekatan
analisis tugas(task analysis) adalah yang paling banyak diterapkan untuk
pendidikan teknologi dan kejuruan di negara yang sudah maju. Dengan pedoman dari
hasil penelitian dan buku panduan yang dikembangkan selama beberapa tahun
terakhir, sudah dapat dilakukan kajian secara sistematis tentang aspek-aspek
perilaku dari persyaratan kerja tertentu yang dijabarkan langsung dari
deskripsi pekerjaan dan deskripsi tugas. Konsorsium pendidikan kejuruan di
Amerika Serikat misalnya, yang beranggotakan beberapa negara bagian sudah
banyak mengembangkan kurikulum program studi kejuruan yang didasarkan analisis
tugas ini.
Sebelum melangkah lebih jauh ke proses
penentuan isi kurikulum dengan pendekatan analisis tugas, terlebih dahulu perlu
dipertegas perbedaan istilah yang sering dijumpai di banyak literatur yang
kemungkinan besar menimbulkan kerancuan penafsiran di kalangan masyarakat.
Kerancuan ini sering timbul dari penterjemahan yang kurang tepat, tetapi juga
tidak jarang timbul karena pemakaian istilah yang memang sulit dipisahkan satu
sama lain, terutama dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Untuk keperluan analisis tugas ini akan
dibedakan antara istilah pekerjaan (job), kewajiban (duties), tugas (task),
kegiatan(activity), pengoperasian(operations), dan langkah-langkah (steps),
dari yang paling umum atau yang paling utuh ke bagian terkecil, istilah di atas
dapat digambarrkan di bawah.
Dalam praktek yang sesungguhnya
kerancuan timbul karena ada pekerjaan yang sangat kompleks yang terdiri dari
hierarki lengkap seperti gambar di atas, tetapi ada pula pekerjaan yang mungkin
hanya terdiri dari beberapa langkah kerja yang tergabung dalam satu kegiatan. Karena
semuanya diterjemahkan menjadi pekerjaan, maka tidak heran kalau kerancuan
penafsiran sering terjadi. Untuk menghindari hal itu hendaklah diingat bahwa
perangkap istilah yang membingungkan itu bukanlah prinsip yang utama dalam melakukan analisis tugas,
namun yang penting menggunakan diagram dalam gambar di atas untuk menganalisis
suatu pekerjaan, kalau suatu tugas tertentu dapat mewakili dengan representasif
suatu kewajiban (duty) tertentu, maka hendaknya dapat dimengerti kalau dalam
kasus tersebut kewajiban dan tugas menjadi satu pengertian dan istilahnya
dipakai atau dipertukarkan satu sama lain. Begitu juga halnya jika suatu
kegiatan hanya terdiri dari satu macam pengoperasian dan itupun hanya melakukan suatu langkah
tertentu, misalnya memijit tombol komputer tertentu, maka di dalam kasus ini
antara kegiatan, operasi, dan langkah menjadi satu dan istilahnya dapat
dipertukarkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan analisis tugas adalah bahwa analisis dilaksanakan terhadap pekerja yang sudah benar-benar
menduduki jabatan atau pekerjaan di tempat kerja (job incumbent). Jadi tidak
ada istilah analisis tugas dengan pengandaian teoritik tentang fungsi atau
tugas kewajiban yang dirumuskan secara imajiner, meskipun ini suatu hal yang
mungkin dilakukan, sebagaimana pada pendekatan yang diuraikan pertama dan
kedua. Dengan menganalisis pekerja yang benar-benar masih bertugas di tempat
kerja dapat dijamin bahwa apa yang dijaring adalah data obyektif yang
terandalkan tentang apa, siapa, bagaimana, dan mengapa suatu pekerjaan
dilaksanakan.
Hal ketiga yang mempengaruhi
keberhasilan pendekatan analisis tugas ini tetapi sangat sulit dipenuhi adalah
sistematika dan ketelitian atau kecermatan dalam inventarisasi data dan
pengolahannya nanti. Mungkin inilah sebab yang terutama mengapa pendekatan ini
tidak banyak dipakai di negara yang belum maju, disamping juga karena makan
waktu yang lama dan biaya penelitian serta pengembangan yang relatif mahal.
Sistematika atau urutan kerja akan menentukan logika penjabaran selanjutnya
menjadi satuan kegiatan belajar yang harus diselenggarakan di sekolah.
Ketelitian dan kecermatan sangat penting biasanya analisis tugas melibatkan
pekerjaan banyak orang dengan jumlah data yang sangat banyak, sehingga hampir
merupakan proyek atau pekerjaan raksasa dengan rincian yang sampai ke
bagian-bagian terkecil dari suatu pekerjaan terntentu yang sedang dianalisis.
Dalam melakukan analisis tugas, perlu
diperhatikan pula langkah-langkah atau urutan prosesnya, yang menurut Finch dan
Crunkilton (1979) mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan
kajian literatur dan informasi yang relevan.
2.
Mengembangkan inventori pekerjaan atau
jabatan.
3.
Memilih sampel atau contoh pekerja
sebagai sumber data.
4.
Melaksanakan survei atau penelitian di
lapangan.
5. Menganalisis
hasil survei untuk dijabarkan menjadi kurikulum dan kegiatan belajar di
sekolah.
Karena
langsung berkaitan dengan perencanaan kurikulum di tingkat mikro, langkah
keempat dan kelima diuraikan lebih lanjut.
Melaksanakan Survei
Analisis Tugas
Aspek pertama yang dikerjakan dalam
pelaksanaan analisis tugas adalah mengidentifikasi dari sekian banyak jabatan
dalam suatu lapangan kerja tertentu, mana saja atau pekerjaan jenis apa saja
yang akan dipilih untuk dikembangkan pendidikan dan latihannya dengan
menggunakan analisis tugas ini. Pertimbangan untuk ini adalah bahwa jangka
waktu proses pengembangan dan
pertumbuhan kesempatan kerja harus seimbang, jangan sampai nantinya setelah
hasil analisis selesai dijabarkan menjadi kurikulum ternyata kesempatan kerja
sudah jauh menurun atau sudah tidak ada sama sekali. Di samping itu juga ada
pertimbangan lainnya seperti kelancaran penempatan lulusan, daerah penempatan
(lokal, regional, dan nasional), biaya investasi permulaan dan biaya
penyelenggaraan selanjutnya. Kalau semua faktor tersebut di atas dinilai
positif atau mempunyai kelayakan, maka barulah suatu analisis tugas untuk
jabatan atau pekerjaan tersebut dilaksanakan. Hal ini semua untuk menjaga agar
usaha dan dana yang diinvestasikan untuk melakukan pengembangan kurikulum
memakai pendekatan analisis tugas ini dapat memberikan hasil balikan yang
menguntungkan dan berjangka panjang. Untuk melakukan hal ini dapat dipakai
Instrumen Matriks Analaisis Penentuan Prioritas Pengembangan (MAPPP), yang
isisnya menilai masing-masing pekerjaan atau jabatan yang dipertimbangkan
tersebut di atas berdasarkan faktor-faktor yang terkait untuk kemudian menyusun
skala prioritas dari yang paling layak dikembangkan sampai ke yang tidak
mendesak untuk digarap.
Instrumen Matriks Analisis Penentuan Prioritas
Pengembangan
Jenis Jabatan/
Pekerjaan
|
Kebut. Lapangan
|
PKK
|
Prosepek Penempatan
|
Biaya Investigasi
|
Biaya
Implementasi
|
Skor
Total
|
Rang-
king
|
1. Sekertaris
2. Kapster
Salon
3. Pemrograman
4. Analis
kimia
5. Operator
komputer
6. Teknisi
alat berat
7. Teknik
Mesin
8. Teknik
Listrik
9. Operator
diesel
10. Asisten
Apoteker
|
5
3
4
5
5
4
5
5
4
4
|
5
4
4
3
5
3
5
4
4
4
|
4
3
2
2
3
3
4
5
4
5
|
5
2
3
3
3
3
4
4
5
3
|
5
3
4
3
4
4
5
4
3
2
|
24
15
17
16
20
17
23
22
20
18
|
1
8
6,5
7
3,5
6,5
2
3
3,5
5
|
Keterangan
: PKK= Pertumbuhan Kesempatan Kerja
Skor
berkisar 5= sangat layak dikembangkan
1=
sangat tidak layak dikembangkan
Kelayakan
masing-masing faktor ada kriteria tersendiri
Dalam matriks yang dipaparkan di tabel,
di atas nampak bahwa jabatan sekertaris, operator komputer, teknisi listrik dan
teknisi mesin industri menduduki urutan prioritas atau ranking yang tinggi di
antara jabatan-jabatan yang lain yang disurvei. Ini kemudian dapat dipakai
sebagai indikator untuk menentukan jabatan atau pekerjaan mana yang harus
dikembangkan lebih lanjut analisis tugasnya sehingga dapat disusun kurikulum
pendidikan atau latihannya
Angka-angka skor untuk masing-masing
faktor berkisar antara 1 sampai 5 sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
untuk masing-masing faktor, yang pada intinya menunjukkan makin tinggi skor
pada suatu faktor akan makin tinggi pula kelayakn pengembangan program ditinjau
dari faktor tersebut. Nilai untuk masing-masing faktor kemudian dijumlahkan dan
dijadikan dasar menentukan prioritas.
Untuk setiap pekerjaan atau jabatan yang
diputuskan untuk dikembangkan, kemudian dilakukan langkah lebih lanjut berupa
inventarisasi tugas (task inventory), yang kemudian kepada para responden yang
disurvei dimintakan untuk memberikan data tentang frekuensi mereka mengerjakan
tugas-tugas tersebut dan seberapa penting tugas-tugas tersebut masing-masing
dalam keseluruhan kerangka pekerjaan yang mereka lakukan, sebagaimana terlihat
pada instrumen di bawah. Di sini sengaja tentang kewajiban (duty) tidak
diinventariskan, sebab itu hanya merupakan penggolongan atau kumpulan beberapa
tugas saja yang tidak mempunyai hierarki fungsional dalam kaitannya dengan
penyusunan pengalaman belajar.
Instrumen Inventarisasi Tugas (Task Inventory)
Sample n=65
Pengatur
Rawat Gigi
No.
|
Rincian Tugas
|
Frekuensi Dilakukan
|
Urgensi dilaksanakan
|
0 1 2 3
|
0 1 2 3
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
Membersihkan/sterilisasi
alat
Menyimpan dan
membungkuss alat
Menyediakan
sterilisasi kimia
Menyiapkan alat bedah
Mensucihamakan ruang
operasi
Mencampur oksida seng
untuk base dan gigi palsu sementara
Mencampur amalgam
untuk pekerjaan restorasi
Mencampur silikat
untuk pekerjaan restorasi
Menambal gigi dengan
bahan tambal sementara
Mengelola kartu
pasien
|
3 3 3 56
4 4 6 51
0 4 9 52
2 6 8 49
0 2 4 59
1 1 8 55
3 1 2 59
6 7 8 44
12 10 8
30
7 10 9
39
|
5 0 6 54
6 0 5 54
3 1 4 57
5 4 10
46
0 2 7
56
3 1 7 54
4 1 6 54
8 1 6 45
21 8 12
34
20 18 7
20
|
Keterangan : Frekuensi Urgensi
0
= Tidak pernah mengerjakan 0 =
Sama sekali tidak penting
1
= Jarang mengerjakan 1
= Sedikit penting
2
= Sering mengerjakan 2
= Penting
3
= Selalu mengerjakan 3
= Sangat penting
Dari
skor frekuensi masing-masing pilihan jawaban kemudian dihitung indeks frekuensi
dan indeks urgensi untuk mencari urutan tugas.
Setelah dihitung merata nilai untuk
aspek frekuensi dan kepentingannya, dapatlah kemudian disusun lagi urutan atau
rangking tugas-tugas tersebut mulai dari ururtan tertinggi sampai terendah.
Data ini nantinya akan sangat bermanfaat dan mempertimbangkan jenis
pengetahuan, keterampilan atau pemahaman yang harus diajarkan sebagai isi
kurikulum di sekolah atau program latihan. Sangatlah tidak efiisien mengajarkan
anak didik melakukan suatu tugas apabila dalam kenyataan di tempat kerja tugas
tersebut hanya dilakukan oleh beberapa orang, atau jarang dilakukan, atau tidak
dianggap terlalu penting dalam keseluruhan tugas kerja seorang pekerja
tertentu.
Keterangan lain yang
tidak kalah pentingnya adalah tingkat dan jenis skill dalam masing-masing tugas,
karena ada yang sifatnya keterampilan teknis dan adapula yang sifatnya
manipulatif, sebagaimana dibedakan oleh Milton Larson (1972). Ahli pendidikan
kejuruan ini membedakan kebutuhan skill untuk mengerjakan suatu tugas menjadi
skill manipulative dan skill teknis, yang masing-masing kemudian dibedakan
lebih lanjut menjadi empat tingkatan seperti contoh Instrumen Analisis Kegiatan
dan Tingkat Keterampilan (AKTK) di bawah.
Dalam menganalisis kegiatan dan tingkat
keterampilan ini kecuali data yang diperoleh dari wawancara dengan para pekerja
juga akan sangat baik sekali kalau dilengkapi dengan observasi langsung ke
lapangan, karena ada data tentang tingkat keterampilan yang akan sangat tidak
valid apabila hanya menggantungkan dari satu sumber saja.
Instrumen Analisis Kegiatan dan Tingkat
Keterampilan (AKTK)
Mekanik
Otomotif
No.
|
Unit Pekerjaan(operations)
|
Tingkat Skill Manipulative
|
Tingkat Skill Teknis
|
Keterangan lain
|
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
|
A. Pemasangan kepala
silinder
Membongkar gasket
Menyekop klep dan
dudukan klep
Memperbaiki mekanik
klep
Mendiagnosis
kerusakan mekanis klep
Menyetel saat
pembukaan/penutupan
B. Bongkar pasang
blok silinder
Menyetel ring, torak,
dan pentorak
Dst,dst.
|
1
2 3 4
1
2 3 4
1
2 3 4
1
2 3 4
1
2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
|
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3
4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
|
|
Keterangan : Manipulative Teknis
1 = Perlu
kecepatan, sedikit 1 =
Dapat mengerjakan dengan instruksi
keterampilan lisan
2 = Kecepatan
sedang, 2 = Dapat
mengerjakan di bawah
keterampilan sedang bimbingan
dengan bantuan chart dan
manual tertulis
3 = Kecepatan
sedang, 3 = Dapat
mengerjakan sendiri dengan
keterampilan tinggi bantuan chart/manual
4 = Kecepatan
tinggi dan 4 = Mampu
mendiagnosis dan
keterampilan tinggi semua memperbaiki kerusakan sendiri
diperlukan
Dengan menggunakan alat-alat atau
instrumen surcei tersebut di atas, maka akan diperoleh gambaran keseluruhan
maupun rincian informasi tentang suatu pekerjaan atau jabatan tertentu sampai
pada kegiatan dan ketrampilan untuk melaksanakannya. Dari sinilah kemudian para
perencana kurikulum mengorganisir bahan atau informasi tersebut untuk
melaksanakannya. Dari sinilah kemudian para perencana kurikulum mengorganisir
bahan atau informasi tersebut untuk menyusun isi kurikulum pendidikan teknologi
dan kejuruan. Sudah barang tentu untuk mengolah semua informasi tersebut
tidaklah mudah, karena masing-masing mempunyai bobot sendiri-sendiri dan harus
dipertimbangkan dalam kaitan antara yang satu dengan yang lain.
Penjabaran Hasil Survei
Menjadi Kurikulum
Dari hasil survei analisis tugas yang
diutarakan di atas, kemudian harus diorganisisr dan diolah menjadi bahan acuan
dalam penyusunan isi kurikulum. Hal ini dilaksanakan dengan melakukan analisis
zone (zone analysis) dan analisis is (content analysis). Yang pertama melukiskan
gambaran menyeluruh isi kurikulum berdasarkan kelompok mata pelajaran yang
dibagi menjadi kelompok spesialisasi, kelompok penunjang, dan kelompok dasar,
masing-masing dengan proposisi yang harus dipikirkan masak-masak. Yang kedua
menyangkut penjabaran rincian hasil analisis tugas menjadi materi belajar atau
unit belajar yang nanti dilanjutkan dengan disain kegiatan instruksional dan
pengadaan materi instruksionalnya, baik berupa lembar informasi, lembar kerja,
lembar tugas, dan lembar pengamatan. Ini semua akan diuraikan dalam bab
tersendiri tentang analisis instruksional (mikro).
Dari kelima pendekatan untuk menentukan
isi kurikulum yang sudah diuraikan di atas tidak dapat dikatakan dengan tegas
mana yang paling baik, karena banyak faktor yang terkait dengan kelayakan
pemakaian masing-masing pendekatan. Ditinjau dari segi falsafah pendidikan
teknologi dan kejuruan, cara kelima (task analysis) mungkin yang paling relevan
dengan kebutuhan dunia kerja. Tetapi ditinjau dari peranan pendidikan teknologi
dan kejuruan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia, ada pertimbangan
tertentu yang menyebabkan pendekatan yang terlalu didikte oleh kebutuhan
industri ini tidak terlalu populer di negara yang sedang berkembang di samping
biaya prosesnya dan juga struktur industrinya yang belum mapan untuk disurvei
secara sistematis.
Dengan kata lain masing-masing
pendekatan mempunyai segi untung rugi dan kelemahan serta kelebihan. Menjadi
kewajiban para perencana kurikulum untuk mencari sedikit paradigma pendidikan
kejuruan yang paling sesuai dengan konteks masyarakat dan kemudian mencari
pendekatan yang khusu dikembangkan untuk mengisi paradigma tersebut dengan
pelaksanaan operasional. Ini dapat dicapai dengan menggabungkan segi-segi
kelebihan dari semua macam pendekatan tersebut di atas, atau dengan
mengembangkan suatu pendekatan yang sama sekali baru sesuai dengan tuntutan
kondisi dan situasi yang ada.
Sumber
Buku:
Sukamto.1988.Perencanaan
& Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan.
Depdikbud:Jakarta
Saya setuju tentang pendapat agan mengenai untung rugi dalam melakukan pendekatan untuk menentukan isi kurikulum yang akan digunakan. Dan analisis sistem pendidikan dalam hal ini sangatlah diperlukan untuk mendapatkan pendekatan apa yang baik digunakan dalam penentuan isi kurikulum yang akan digunakan pada suatu sistem
ReplyDelete