Kegiatan pembelajaran
yang diselenggarakan oleh setiap guru, selalu bermula dari dan bermuara pada
komponen-komponen pembelajaran yang tersurat dalam kurikulum. Pernyataan ini,
didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh
guru merupakan bagian utama dari pendidikan formal yang syarat mutlaknya adalah
kurikulum sebagai pedoman. Dengan demikian, guru merancang program pembelajaran
maupun melaksanakan proses pembelajaran akan selalu beredoman pada kurikulum.
Guru dapat dikatakan
sebagai pemegang peran penting dalam pengimplementasian kurikulum, baik dalam
rancangan maupun dalam tindakannya. Oleh karena itu, sudah selayaknya calon
guru dikenalkan dengan kurikulum yang akan banyak digaulinya pada saatnya
nanti. Pengenalan terhadap kurikulum tersebut, tidak saja terbatas pada
pengertian kurikulum saja. Lebih dari itu yang penting adalah berkenaan dengan
pengembangan kurikulum.
A.
Kurikulum
dan Landasan Pengembangan Kurikulum
1.
Pengertian Kurikulum
Apabila
diajukan pertanyaan:apakah kurikulum itu? Setiap orang yang ditanya akan
menjawab sama atau berbeda satu dengn yang lain. Adanya jawaban yang bervariasi
terhadap pertanyaan tersebut, sesuai dengan pendapat para ahli yang juga
bervariasi mengenai pengertian kurikulum ini.
Kata
“Kurikulum” berasal dari satu kata bahasa latin yang berarti “jalur pacu”, dan
secara tradisional, kurikulum sekolah disajikan seperti itu (ibarat jalan) bagi
kebanyakan orang (Zais,1976:6). Lebih lanjut Zais (1976) mengemukakan berbagai
pengertian kurikulum, yakni: (i)kurikulum sebagai program pelajaran, (ii)
kurikulum sebagai isi pelajaran, (iii) kurikulum sebagai pengalaman belajar
yang direncanakan, (iv) kurikulum sebagai pengalaman di bawah tanggung jawab
sekolah, dan (v) kurikulum sebagai suatu rencana (tertulis untuk dilaksanakan). Sedangkan Tanner dan
Tanner (1980) menggunakan konsep-konsep: (i) kurikulum sebagai pengetahuan yang
diorganisasikan, (ii) kurikulum sebagai modus mengajar, (iii) kurikulum sebagai
arena pengalaman, (iv) kurikulum sebagai pengalaman, (v) kurikulum sebagai
pengalaman belajar terbimbing, (vi) kurikulum sebagai kehidupan terbimbing,
(vii) kurikulum sebagai suatu rencana pembelajaran, (viii) kurikulum sebagai
sistem produksi secara teknologis, dan (ix) kurikulum sebagai tujuan. Untuk
memudahkan dan menyederhanakan pembahasan, berikut merupakan penyimpulan dari
konsep-konsep kurikulum, yang terdiri dari: (i) kurikulum sebagai jalan untuk
meraih ijazah, (ii) kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran, (iii) kurikulum
sebagai rencana kegiatan pembelajaran, (iv) kurikulum sebagai hasil belajar,
dan (v) kurikulum sebagai pengalaman belajar.
a. Kurikulum
sebagai Jalan Meraih Ijazah. Seperti kita ketahui bersama, kurikulum merupakan
syarat mutlak dalam pendidikan formal. Boleh dikata, tidak ada pendidikan
formal tanpa ada kurikulum. Pada pendidikan formal terdapat jenjang-jenjang
pendidikan yang selalu berakhir dengan ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar
(STTB). Seseorang yang telah menyelesaikan satu jenjang pendidikan, dalam
kenyataannya telah menyelesaikan satu jalur pacuan yang terdiri dari berbagai
mata pelajaran /bidang studi beserta isi pelajarannya dan berakhir pada ijazah.
Para pendidik profesional juga memandang “... curriculum as the relatively
standardized ground covered by students in their race toward the finish line (a
diploma” (Zais,1976:6). Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat kiranya
dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan jalan yang berisi sejumlah mata
pelajaran/ bidang studi dan isi pelajaran yang harus dilalui untuk meraih
ijazah.
b. Kurikulum
sebagai Mata dan Isi Pelajaran. Kurikulum sebagai jalan meraih ijazah
mengisyaratkan adanya sejumlah mata pelajaran/ bidang studi dan isi pelajaran
harus diselesaikan oleh siswa. Selain itu, jika ada orang yang bertanya: apa
kurikulumnya?, seringkali dijawab bahwa kurikulumnya adalah PMP, Bahasa
Indonesia, dan yang lain. Jawaban bahwa kurikulum terdiri dari berbagai mata pelajaransudah
sejak lama ada, bahkan sampai sekarang masih sering terbaca atau terdengar.
Schubert (1986) mengemukakan bahwa penyebutan kurikulum dengan mata pelajaran
(Sumantri, 1988:2). Lebih jauh orang juga sering menyebut bahwa isi dari
pelajaran tertentu dalam program berbagai kurikulum (Zais, 1976:7). Dengan
demikian, tidaklah mengejutkan apabila ada orang yang mengemukakan kurikulum
sebagai mata da isi pelajara.
c. Kurikulum
sebagai Rencana Kegiatan Pembelajaran. Winecoff(1988:1) mengemukakan: “The curriculum
is generally defined as a plan developed to faciliate the teaching/ learning
process under the direction and guidance of a school, college or university and
its staff members”. Definisi kurikulum seperti dikemukakan oleh Winecoff (1988)
tersebut, secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa kurikulum didefinisikan
sebagai satu rencana yang dikembangkan untuk mendukung proses mengajar/ belajar
di dalam arahan dan bimbingan sekolah, akademi atau universitas, dan para
anggota staffnya. Alexander dan Saylor (1974 dalam Bondi dan Wiles,1989:7)
mengungkapkan pula bahwa kurikulum sebagai rancangan untuk menyediakan
seperangkat kesempatan belajar agar mencapai tujuan. Kurikulum sebagai rencana
kegiatan pembelajaran sudah selayaknya mencakup komponen-komponen kegiatan
pembelajaran, namu demikian komponen-komponen kegiatan pembelajaran yang
dirancang dalam kurikulum masih bersifat umum dan luwes untuk dikaji lebih
lanjut oleh guru.
d. Kurikulum
sebagai Hasil Belajar. Popham dan Baker mendefinisikan kurikulum sebagai “all
planned learning outcomer for which the school responsible” (Tanner &
Tanner, 1980:24). Secara jelas diutarakan oleh Popham dan Baker bahwa semua
rencana hasil belajar (learning outcomes) yang merupakan tanggung jawab sekolah
adalah kurikulum. Adanya definisi mengubah pandangan penanggung jawab sekolah
dari kurikulum sebagai alat menjadi kurikulum sebagai tujuan. Bahkan Tanner dan
Tanner (1980:43) memandang kurikulum sebagai rekonstruksi pengetahuan dan
pengalaman, yang secara sistematis dikembangkan dengan bantuan sekolah (atau
universitas), agar memungkinkan siswa menambah penguasaan pengetahuan dan
pengalamannya. Dengan demikian, kurikulum sebagai hasil belajar merupakan
serangkaian hasil belajar yang diharapkan. Namu demikian bukan berarti kurikulum
tidak diorganisasikan secara sistematis unuk mewujudkan hasil-hasil belajar
yang diharapkan.
e. Kurikulum
sebagai Pengalam Belajar. Dari empat konsep kurikulum yang diuraikan
sebelumnya, dapatkah kita menandai bahwa setiap orang yang terlibat dalam
pengimplementasian kurikulum tersebut akan memperoleh pengalaman belajar. Fosha
mengamati bahwa sejak sebelum tahun 1930-an istilah kurikulum didefinisikan
sebagai “semua pengalaman siswa yang diberikan dibawah bimbingan sekolah”
(Tanner dan Tanner,1980:14). Sedangkan Krug (1956 dalam Zais 1976:8)
menunjukkan kurikulum sebagai “all the means employed by the school provide
students with opportunities for desirable learning experiences”. Jelas definisi
Krug ini menunjukkan kepada kita bahwa semua yang bermaksud dipakai oleh
sekolah untuk menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman belajar yang diperlukan sekali adalah kurikulum. Berdasarkan
definisi kurikulum sebagai pengalaman belajar perlu dimengerti bahwa pengalaman
belajar tersebut dapat diperoleh baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah
sepanjang direncanakan atau dibimbing oleh pihak sekolah. Dengan demikian
kurikulum sebagai pengalaman belajar mencakup pula tugas-tugas belajar yang
diberikan oleh guru untuk dikerjakan siswa di rumah.
Kelima
konsep tentang kurikulum, yakni (i) kurikulum sebagai jalan untuk meraih
ijazah, (ii) kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran, (iii) kurikulum sebagai
rencana kegiatan pembelajaran, (iv) kurikulum sebagai hasil belajar, dan (v)
kurikulum sebagai pengalaman belajar, semua benar tergantung dari cara
memandangnya. Guru dapat memilihsatu atau lebih konsep kurikulum yang dijadikan
acuannya. Dalam UU Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 pasal 1 (9)
menyebutkan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahanserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar” (Depdikbud, 1989:3), sedangkan dalam pasal 37
menyebutkan: “ Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesuaiannya dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan
teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis-jenis dan jenjang-jenjang
masing-masing satuan pendidikan” (Depdikbud, 1989:15). Rumusan penjabaran
kurikulum seperti termaktub dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, bila dikaji
merupakan konsep kurikulum yang cukup lengkap dan menyeluruh. Dalam rumusan
tersebut tampak dengan jelas bahwa kurikulum perlu dan harus dikembangkan.
2.
Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
merupakan wahana belajar-mengajar yang dinamis sehingga perlu dinilai dan
dikembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan
yang ada dalam masyarakat (Depdikbud,1986:1). Adapun yang dimaksud dengan
pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaiamana pembuatan
kurikulum akan berjalan. Hal tersebut meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut:
Siapa yang akan dilibatkan dalam pembuatan kurikulum-guru, administrator, orang
tua, siswa? Apa prosedur yang akan digunakan dalam pembuatan kurikulum-petunjuk
admistratif, komisi fakultas(staf pengajar), konsultasi universitas? Jika
komisi yang digunakan, bagaimana mereka akan diatur? (Zais, 1976: 17).
Sedangkan Bondi dan Wiles (1989:87) mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum
yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak hal yakni:
(1)kemudahan-kemudahan suatu analisis tujuan, (2)rancangan suatu program, (3)
penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan (4) peralatan dalam evaluasi
proses ini. Secara singkat, pengembangan kurikulum adalah suatu perbuatan
kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan (Taba, 1962:6).
Agar
pengembangan kurikulum dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam
pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulu.
Seperti yang dicantumkan dalam Kurikulum SD: Landasan Program dan Pengembangan
dikemukakan bahwa dalam pengembangannya, kurikulum mengacu pada tiga unsur
yaitu: (1) Nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia
seutuhnya; (2) Fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum baik
berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya; dan (3) Landasan
teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotan
(Depdikbud,1986:1). Hal yang dikemukakan dalam landasan program dan
pengembangan kurikulum merupakan contoh adanya landasan-landasan pengembangan
kurikulum, yang acapkali disebut dengan determinan (faktor-faktor penentu
pengembangan kurikulum.
a.
Landasan Filosofis. Pendidikan ada dan
berada dalam kehidupan masyarakt, sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat
untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti
seluas-luasnya) (Raka Joni,1983:6). Segala kehendak yang dimiliki oleh
masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan
demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan
dan wawasan dalam pendidikan, atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup
dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.
Filsafat boleh jadi didefinisikan sebagai suatu studi tentang: hakikat
realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai
kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran (Winecoff, 1988:13). Oleh
karena itu, landasan filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas,
ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat pikiran
yang ada dalam masyarakat. Secara logis dan realistis landasan filosofis
pengembangan kurikulum dari stau sistem pendidikan berbeda dengan lembaga yang
lain. Perbedaan tersebut sangat terasa dalam masyarakat yang majemuk. Untuk
landasan filosofis pengembangan kurikulum di Indonesia secara cepat dan tepat
kita pastikan, yakni dasar merupakan falsafah dalam pendidikan manusia
seutuhnya yakni pancasila.
b.
Landasan Sosial-Budaya-Agama. Realita
sosial-budaya-agama yang ada dalam masyarakat merupakan bahan kajian
pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum.
Masyarakat adalah suatu kelompok individu-individu yang diorganisasikan mereka
sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda (Zais, 1976:157; raka Joni, 1983:5).
Masyarakat sebagai kelompok individu-individu mempunyai pengaruh terhadap
individu-individu dan sebaliknya individu-individu itu pada taraf-taraf
tertentu juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat (Raka Joni,1983:5).
Kebersamaan individu-individu dalam masyarakat diikat dan terikat oleh
nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka.
Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan dihormati oleh individu-individu dalam
masyarakat tersebut, mencakup nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai
keagamaan berhubungan dengan kepercayaan, maka pada umumnya bersifat langgeng
sampai masyarakat pemeluknya melepaskan kepercayannya (Raka Joni, 1983:5).
Nilai sosial-budaya masyarakat bersumber pada hasil karya akal budi manusia,
sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan dan/atau melepaskannya
manusia menggunakan akalnya. Dengan demikian, apabila terdapat nilai-nilai
sosial budaya yang tidak berterima atau tidak bersesuaian dengan akalnya akan
dilepaskan. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial budaya lebih bersifat sementara
bila dibanding dengan nilai-nilai keagamaan. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluasan,
pelestarian atau penolakan dan pelepasan nilai-nilai sosial-budaya-agama, maka
masyarakat memanfaatkan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum. Jelaskah
kiranya bagi kita, mengapa salah satu landasan pengembangan kurikulum adalah
nilai-nilai sosial-budaya-agama.
c.
Landasan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan
Seni. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik (siswa) menghadapi
lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat (Raka Joni,
1983:25). Perubahan masyarakat mencakup nilai yang disepakati oleh masyarakat
tersebut. Sedangkan masyarakat mencakup nilai yang disepakati oleh masyarakat
dapat pula disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena itu kebudayaan dapat
dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi (Zais,
1976:157). Namun demikian, menurut Daoed Joesoef (1982 dalam Raka Joni,
1983:40) bahwa sumber ratusan ribu nilai yang ada dalam masyarakat untuk
dikembangkan melalui proses pendidikan ada tiga yaitu: pikiran (logika),
perasaan (estetika), dan kemauan (etika). Ilmu pengetahuan teknologi adalah
nilai-nilai yang bersumber pada pikiran atau logika, sedangkan seni bersumber
pada perasaan atau estetika. Mengingat pendidikan merupakan upaya penyiapan
siswa menghadapi perubahan yang semakin pesat, temasuk di dalamnya perubahan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, maka pengembangan kurikulum sekolah
haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Nana Sy.
Sukmadinata (1988:82) mengemukakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara langsung akan menjadi isi materi pendidikan. Sedangkan secara
tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat
dengan kemampuan pemecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (IPTEKS) juga dimanfaatkan untuk memecahkan maslah
pendidikan.
d.
Landasan Kebutuhan Masyarakat. Adanya
falsafah hidup perubahan sosial budaya agama, dan perubahan IPTEKS dalam suatu
masyarakat akan merubah pula kebutuhan masyarakat. Selain itu, kebutuhan
masyarakat juga dipengaruhi kondisi di masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Raka Joni (1988:7) bahwa masyarakat modern dan masyarakat
tradisional berbeda, juga masyarakat kota berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain sebagian
besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota
masyarakat tersebut. Di sisi lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh
terhadap individu-individu anggota masyarakat. Oleh karena itu pengembangan
kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis. Pengembangan
kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup
keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. (Sumatri, 1988:77). Dari
uraian-uraian sebelumnya, jelaslah bahwa salah satu landasan pengembangan
kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang
dikembangkan.
e.
Landasan Perkembangan Masyarakat. Salah
satu ciri dari masyarakat adalah selalu berkembang. Mungkin pada masyarakat
tertentu perkembangan sangat lambat, tetapi masyarakat lainnya cepat bahkan
sangat cepat (Nana Sy. Sukmadinata, 1988:66). Perkembangan masyarakat
dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEKS, dan kebutuhan yang ada
dalam masyarakat. IPTEKS mendukung perkembangan masyarakat, dan kebutuhan
masyarakat akan membantu menetapkan perkembangan yang dilaksanakan.
Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum
yang landasan pengembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.
Pengertian
kurikulum dan landasan-landasan pengembangan kurikulum seperti telah diuraikan
sebelumnya, akan merupakan dasar untuk mengkaji pembelajaran dan pengembangan
kurikulum lebih lanjut.
B.
Komponen
dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
1.
Komponen Kurikulum
Sebelum
melaksanakan kegiatan pengembangan kurikulum, seorang pengembang lebih dahulu
mengenal komponen atau elemen atas unsur kurikulum. Seperti yang dikemukakan
Tyler(1950 dalam Taba, 1962:422) bahwa “it is important as a part of a
comprehensive theory or organization to indicate just what kinds of elements
will serve satisfactorily as organizing elements. And in a given curriculum it
is important to identify the particular elements that shall be used”. Dari
pernyataan Tyler tersebut, tampak pentingnya mengenal komponen atau elemen atau
unsur kurikulum. Herrick (1950 dalam Taba, 1962:425) mengemukakan 4 (empat)
elemen, yakni: tujuan(objectives), mata pelajaran (subject matter), metode dan
organisasi (method and organization), dan evaluasi(evaluation). Sedangkan ahli
yang lain mengemukakan bahwa kurikulum terdiri dari empat komponen dasar: (1)
aims, goals, and objective, (2) content, (3) learning activities and (4)
evaluation (Zais, 1976:295). Nana Sy. Sukmadinata (1988:110) mengemukakan empat
komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau
materi, proses atau sistem penyampaian, evaluasi. Berdasarkan uraian tentang
komponen-komponen kurikulum sebelumnya, dalam uraian berikut ini akan dibahas
mengenai komponen-komponen kurikulum sebelumnya, kurikulum yang terdiri dari:
tujuan, materi/ pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi.
a.
Tujuan
Tujuan
sebagai sebuah komponen kurikulum merupakan kekuatan-kekuatan fundamental yang
peka sekali, karena hasil kurikuler yang diinginkan tidak hanya sangat
mempengaruhi bentuk kurikulum, tetapi memberikan arah dan fokus untuk seluruh
program pendidikan (Zais, 1976:297). Apa yang diutarakan oleh Zais mengenai
pentingnya tujuan adalah benar adanya, karena tidak ada satupun aspek-aspek
pendidikan selalau mempertanyakan tentang tujuan. Lebih lanjut Zais( 1976:307)
mengklasifikasikan tujuan menjadi tiga yaitu aims, goals, dan objectives, yang
ketiganya merupakan suatu hierarki vertikal. Adanya klasifikasi tujuan
kurikulum seperti yang diutarakan oleh Zais juga tersurat dalam tujuan
kurikulum di Indonesia. Hierarki vertikal tujuan kurikulum di Indonesia, paling
tinggi adalah tujuan pendidikan nasioanl, kemudian tujuan kelembagaan, diikuti
tujuan kurikuler, dan tujuan pengajaran. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan
kurikulum tertinggi yang bersumber pada
falsafah bangsa (Pancasila) dan kebutuhan masyarakat. Tujuan kurikuler atau
tujuan mata pelajaran/ bidang studi dijabarkan dari tujuan kelembagaan,
bersumber pada karakteristik mata pelajaran/bidang studi, karakteristik
lembaga, dan kebutuhan masyarakat. Tujuan yang terbawa dari hierarki tujuan
kurikulum di Indonesia adalah tujuan pengajaran, yakni suatu tujuan yang
menjabarkan tujuan kurikuler dan bersumber pda karakteristik mata
pelajaran/bidang studi dan karakteristik siswa.
Tujuan
pengajaran terbagi menjadi dua macam, yakni tujuan umum pengajaran (TUP) dan
tujuan khusus pengajaran (TKP). Apabila dikaji lebih lanjut akan kita temukan
bahwa dalam perumusannya, tujuan tersusun hierarki vertikal dari yang tertinggi
ke yang terendah dan sebaliknya untuk pencapaiannya secara hierarki vertikal
dari tujuan terendah ke tujuan yang lebih tinggi. Untuk memperjelas uraian,
berikut merupakan sistematika hierarki tujuan kurikulum di Indonesia.
Jenjang
Tujuan
|
Dokumen
|
Penanggung
Jawab
|
Tujuan Pendidikan
|
UU SPN&GBHN
|
Menteri Dikbud
|
Tujuan Kelembagaan
|
Kurikulum Tiap
Lembaga
|
Kepala Sekolah
|
Tujuan Kurikuler
|
GBPP
|
Guru mata
pelajaran/ bidang studi/kelas
|
Tujuan Pengajaran
|
GBPP &
Rancangan Pembelajaran
|
Guru mata pelajaran/
bidang studi/kelas
|
Tabel
Sistematika Hierarki Tujuan Kurikulum di Indonesia
Hierarki
tujuan kurikulum secara vertikal di Indonesia seperti terurai sebelumnya,
tersurat sampai dengan Kurikulum Yang Disempurnakan (KYD) SD/SLTP/SLTA tahun
1984/1985 atau 1985/1986. Hierarki tujuan kurikulum secara vertikal tersebut
dapat saja berkembang atau dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan zaman.
Pengembangan
hierarki kurikulum secara vertikal di Indonesia tertampak dalam draft kurikulum
tahun 1994/1995. Hierarki tujuan kurikulum vertikal yang tersurat dalam draft
kurikulum 1994/1995 tersebut diawali dari Tujuan Pendidikan Nasional, kemudian
Tujuan Kelembagaan, Tujuan Kurikuler, Tujuan Bidang Studi, Tujuan Kelas, dan
Tujuan Catur Wulan serta Tujuan Pengajaran. Secara garis besar hierarki tujuan
kurikulum dalam draft kurikulum 1994/1995 tersebut, ditujukan untuk lebih
mempertajam hierarki tujuan kurikulum. Adanya hierarki tujuan kurikulum yang
lebih lanjut diharapkan dapat memudahkan guru menjabarkannya.
b.
Materi/ Pengalaman Belajar
Hal
yang merupakan fungsi khusus dari kurikulum pendidikan formal untuk memilih dan
menyusun isi (komponen kedua dari kurikulum) supaya keinginan tujuan kurikulum
dapat dicapai dengan cara yang paling efektif
dan supaya yang paling penting pengetahuan yang diinginkan pada jalurnya
dapat disajikan secara efektif (Zais, 1976:322).
Selain itu untuk mencapai setiap tujuan yang telah ditentukan diperlukan bahan
ajaran (Nana Sy Sukmadinata, 1988:114). Namun demikian sebenarnya tidak cukup
hanya isi/bahan ajaran saja yang dipikirkan dalam kegiatan pengembangan
kurikulum, lebih dari itu adalah pengalaman belajar yang mampu mendukung
pencapaian tujuan secara efektif. Hal ini berarti kita memandang kurikulum
merupakan suatu rencana belajar, dan tujuan menentukan belajar apa yang
penting, maka kurikulum secara pasti mencakup seleksi dan organisasi isi/materi
dan pengalaman belajar (Taba, 1962:266) Isi atau materi kurikulum adalah semua
pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan sikap yang terorganisasi dalam mata
pelajaran/bidang studi. Sedangkan pengalaman belajar dapat diartikan sebagai
kegiatan belajar tentang atau belajar bagaimana disiplin berpikir dari suatu
disiplin ilmu. Dengan demikian jelaslah bahwa baik materi/isi kurikulum dan
pengalaman belajar harus dipikirkan dan dikaji serta diorganisasikan dalam
pengembangan kurikulum. Pentingnya materi/ isi kurikulum dan pengalaman
belajar, dapat kita lihat dari pernyataan Taba (1962:263) berikut ini:
“Selecting the content, with accompanying learning experiences, is one of the
two central decisions in curriculum making, and therefore a relational method
of going about it is matter of great concern”.
c.
Organisasi
Perbedaan
antara belajar di sekolah dan belajar dalam kehidupan adalah dalam hal
pengorganisasian secara formal di sekolah. Jika kurikulum merupakan suatu
rencana untuk belajar, maka isi dan pengalaman belajar membutuhkan
pengorganisasian sedemikian rupa sehingga berguna bagi tujuan-tujuan pendidikan
(Taba, 1962:290). Berdasarkan pendapat Taba tersebut, jelas bahwa materi dan
pengalaman belajar dalam kurikulum diorganisasikan untuk mengeefektifkan
pencapaian tujuan. Namun demikian perlu kita sadari bahwa pengorganisasian
kurikulum merupakan kegiatan yang sulit dan kompleks. Sukar dan merupakan
kegiatan yang sulit dan kompleks. Sukar dan kompleksnya pengorganisasian
kurikulum dikarenakan kegiatan tersebut bertalian dengan aplikasi semua
pengetahuan yang ada tentang pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, dan
masalah proses pembelajaran (Sumatri, 1988:23). Masalah-masalah utama
organisasi kurikulum berkisar pada ruang lingkup (scope), dan sekuensi,
kontinuitas, dan integrasi.
d.
Evaluasi
Evaluasi,
komponen keempat kurikulum, mungkin merupakan aspek kegiatan pendidikan yang
dipandang paling kecil (Zais, 1976:369). Evaluasi ditujukan untuk melakukan
evaluasi terhadap belajar siswa ( hasil dari proses) maupun keefektifan
kurikulum dan pembelajaran. Lebih lanjut Zais (1976:378) mengemukakan evaluasi
kurikulum secara luas merupakan suatu usaha sangat besar yang kompleks yang
mencoba menantang untuk mengkodefikasi proses salah satu dari istilah sekuensi
atau komponen-komponen. Evaluasi kurikulum secara luas tidak hanya menilai
dokumen tertulis, tetapi yang lebih penting adalah kurikulum yang diterapkan
sebagai bahan-bahan fungsional dari kejadian-kejadian yang meliputi interaksi
siswa, guru, material, dan lingkungan. Adapun peran evaluasi dalam kurikulum
secara keseluruhan, baik evaluasi belajar siswa maupun keefektifan kurikulum
dan pembelajaran, dapat digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Dari
uraian tentang evaluasi ini, jelas evaluasi bukanlah komponen atau kegiatan
pendidikan yang kecil. Sebagai komponen kurikulum, evaluasi merupakan bagian
integral dari kurikulum. Kegiatan evaluasi akan memberikan informasi dan data
tentang perkembangan belajar siswa maupun keefektifan kurikulum dan
pembelajaran, sehingga dapat dibuat keputusan-keputusan pembelajaran dan
pendidikan secara tepat.
Demikianlah
uraian tentang empat komponen kurikulum yang saling terkait satu dengan yang
lain, guru terlibat dan berperan dalam menyelaraskan empat komponen kurikulum
tersebut. Keselerasan antara empat komponen kurikulum tersebut akan dapat
dihasilkan melalui pengembangan kurikulum yang memperhatikan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum.
2.
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Ada
berbagai prinsip pengembangan kurikulum yang merupakan kaidah yang menjiwai
kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum dapat menggunakan prinsip-prinsip
yang telah berkembang di dalam kehidupan sehari-hari atau menciptakan
prinsip-prinsip yang telah berkembang di dalam kehidupan sehari-hari atau
menciptakan prinsip-prinsip baru. Sebab itu, selalu mungkin terjadi suatu
kurikulum menggunakan prinsip-prinsip berbeda dengan yang digunakan kurikulum
lain (Depdikbud, 1982 :27). Berbagai prinsip pengembangan kurikulum tersebut
diantaranya: prinsip berorientasi pada tujuan, prinsip relevansi, prinsip
efisiensi, prinsip efektivitas, prinsip fleksibilitas, prinsip integritas,
prinsip kontinuitas, prinsip sinkronisasi, prinsip objektivitas, prinsip
demokrasi, dan prinsip praktis (Depdikbud, 1982 :27-28; Nana Sy. Sukmadinata,
1988 : 167-168). Dari berbagai prinsip pengembangan kurikulum tersebut, tiga di
antaranya yakni prinsip relevensi, prinsip kontinuitas, dan prinsip
fleksibilitas akan diuaraikan berikut ini.
a.
Prinsip Relevensi. Apabila pengembang
kurikulum melaksanakan pengembangan kurikulum dengan memilih jabaran
komponen-komponen kurikulum agar sesuai (relevan) dengan berbagai tuntutan,
maka pada saat itu ia sedang menerapkan prinsip relevansi pengembangan
kurikulum. Relevansi berarti sesuai antara komponen-komponen, tujuan,
isi/pengalaman belajar, organisasi dan evaluasi kurikulum, dan juga sesuai
dengan kebutuhan masyarakat baik dalam pemenuhan tenaga kerja maupun warga
masyarakat yang diidealkan. Nana Sy. Sukmadinata (1988:167-168) membedakan
relevansi menjadi dua macam, yakni relevansi keluar maksudnya tujuan, isi dan
proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan,
kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Sedangkan relevansi ke dalam yaitu
terjalin relevansi di antara komponen-komponen kurikulum, tujuan,isi, proses penyampaian
dan evaluasi.
b.
Prinsip Kontinuitas. Komponen kurikulum
yakni tujuan, isi/ pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi dikembangkan
secara berkesinambungan. Prinsip kontinuitas atau berkesinambungan menghendaki
pengmbangan kurikulum yang berkesinambungan secara vertikal dan
berkesinambungan secara horizontal. Berkesinambungan secara vertikal (bertahap/
berjenjang) dalam artian antara jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dikembangkan kurikulumnya secara berkesinambungan tanpa ada jarak di antara keduanya,
dari tujuan pembelajaran sampai ke tujuan pendidikan nasional juga
berkesinambungan, demikian pula komponen yang lain. Berkesinambungan secara
vertikal menuntut adanya kerja sama antara pengembangan kurikulum jenjang
pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi
(Nana Sy. Sukmadinata, 1988:168). Sedangkan berkesinambungan horizontal
(berkelanjutan) dapat diartikan pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dan
tingkat/kelas yang sama tidak teputus-putus dan merupakan pengembangan yang
terpadu.
c.
Prinsip fleksibilitas. Para pengembang
kurikulum menyadari bahwa kurikulum harus mampu disesuaikan dengan situasi dan
kondisi setempat dan sewaktu yang selalu berkembang tanpa merombak tujuan
pendidikan yang harus dicapai (Depdikbud,1982:27). Selain itu, perlu disadari
juga bahwa kurikulum dimaksudkan untuk mempersiapkan anak untuk kehidupan
sekarang dan kehidupan yang akan datang, di sini dan di tempat lain, bagi anak
yang memiliki latar belakang dan kemampuan berbeda (Nana Sy. Sukmadinata, 1988
:168). Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa prinsip fleksibilitas menuntut
adanya keluwesan dalam pengembangan kurikulum tanpa mengorbankan tujuan yang
hendak dicapai. Namun demikian, keluwesan jangan diartikan bahwa kurikulum
dapat diubah kapan saja. Keluwesan harus diterjemahkan sebagai kelenturan
melakukan penyesuaian komponen kurikulum dengan setiap situasi dan kondisi yang
selalu berubah.
Apabila kita mengkaji
komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, keduanya
saling terkait satu dengan yang lain. Pengembangan kurikulum dengan sendirinya
selelau berkenaan dengan komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum sekaligus. Penguasaan tentang komponen-komponen
kurikulum dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dipersyaratkan bagi setiap
pengembang kurikulum.
C.
Model-Model
Pengembangan Kurikulum
Untuk
melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan kurikulum yang
dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya. Model-model pengembangan
kurikulum tersebut sering kali dinamakan dengan nama ahli yang melontarkan
gagasan tentang model pengembangan kurikulum tersebut. Berikut ini akan
diuraikan tentang beberapa model pengembangan kurikulum.
1.
Model Administratif (Line –staff)
Model
administratif atau garis-komando (line staff) merupakan pola pengembangan
kurikulum yang paling awal dan mungkin yang paling dikenal (Zais, 1976:447;
Nana Sy. Sukmadinata, 1988 :179). Model pengembang kurikulum ini berdasarkan
pada cara kerja atasan bawahan (top-down) yang dipandang efektif dalam
melaksanakan perubahan, termasuk perubahan kurikulum.
Model
administratif/ garis-komando memiliki langkah-langkah berikut ini:
(i)
Administrasi pendidikan/ top
administrative officers (pimpinan) membentuk komisi pengarah.
(ii)
Komisi pengarah (steering comittee)
bertugas merumuskan rencana umum, mengembangkan prinsip-prinsip sebagai
pedoman, dan menyiapkan suatu pernyataan filosofis dan tujuan-tujuan untuk
seluruh wilayah sekolah.
(iii)
Membentuk komisi kerja pengembangan kurikulum
yang bertugas mengembangkan kurikulum secara operasional mencakup keseluruhan
komponen kurikulum dengan mempertimbangkan landasan dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum.
(iv)
Komisi pengarah memeriksa hasil kerja
dari komisi kerja dan menyempurnakan bagian-bagian tertentu bila dianggap
perlu. Karena pengembangan kurikulum model administratif ini berdasarkan
konsep, inisiatif dan arahan dari atas ke bawah, maka akan memerlukan waktu
bertahun-tahun agar dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan adanya
tuntutan untuk mempersiapkan para pelaksana kurikulum tersebut.
Dari uraian
model pengembangan kurikulum administrasi kita dapat menandai adanya dua
kegiatan di dalamnya: (a) Menyiapkan seperangkat dokumen kurikulum yang baru,
dan (b) Menyiapkan instalasi atau implementasi dokumen. Dengan kata lain, model
administrasi garis-komando membutuhkan kegiatan penyiapan para pelaksana
kurikulum melalui berbagai bentuk pelatihan agar dapat melaksanakan kurikulum
dengan baik.
2.
Model Grass-Roots
Model
pengembangan kurikulum ini merupakan kebalikan dari model administratif dilihat
dari sumber inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum. Bila model
administratif semua inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum di atas, maka
model rakyat biasa (Grass-Roots) semua inisiatif dan upaya pengembangan
kurikulum dari bawah. Bisa dikata, model administratif bersifat top-down
(atasan bawahan) sedangkan model grass-roots bottom up (dari bawah ke atas).
Lebih lanjut juga bisa diketahui bahwa model administratif sentralisasi penuh,
sedangkan model grass-roots cenderung berlaku dalam sistem yang kurikulumnya
bersifat desentralisasi atau memberikan peluang terjadinya desentralisasi
sebagian. Model pengembangan kurikulum grass-roots dapat mengupayakan
pengembangan sebagian dari keseluruhan komponen kurikulum atau keseluruhan dari
seluruh komponen kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum model grass-roots
perlu diingat 4 (empat) prinsip berikut yang dikemukakan oleh Smith, Stanley,
dan Shores (1957 dalam Zais,1976:449), yakni:
(i)
Kurikulum akan bertambah baik hanya
kalau kompetensi profesional guru bertambah baik,
(ii)
Kompetensi guru akan menjadi bertambah
baik hanya kalau guru-guru menjadi personil-personil yang dilibatkan dalam
masalah-masalah perbaikan (revisi) kurikulum,
(iii)
Jika para guru bersama menanggung
bentuk-bentuk yang menjadi tujuan yang dicapai, dalam memilih, mendefinisikan
dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, serta dalam memutuskan dan
menilai hasil, keterlibatan mereka akan dapat lebih terjamin, dan
(iv)
Sebagai orang yang bertemu dalam
kelompok-kelompok tatap muka, mereka akan lebih mampu mengerti satu dengan yang
lain dengan lebih baik dan membantu adanya konsensus dalam prinsip-prinsip
dasar, tujuan-tujuan, dan perencanaan.
Dari
uraian sebelumnya jelaslah bahwa untuk menjadi pengembang kurikulum yang
handal, guru dituntut memiliki sejumlah kemampuan. Dalam rangka memberikan
dan/atau membentuk kompetensi guru, maka guru haruslah diberikan kesempatan
untuk terlibat secara langsung menghadapi dan memecahkan masalah kurikulum.
3.
Model Beauchamp
Pengembangan
kurikulum dengan menggunakan model Beauchamp memiliki lima bagian pembuatan
keputusan. Lima tahap pembuatan keputusan tersebut adalah:
(i)
Memutuskan arena pengembangan kurikulum,
suatu keputusan yang menjabarkan ruang lingkup upaya pengembangan.
(ii)
Memilih dan melibatkan personalia
pengembangan kurikulum suatu keputusan yang menetapkan personalia upaya
pengembangan kurikulum. Ada 4 (empat) kategori personalia yang dilibatkan,
yakni: (a) personalia ahli, misal ahli kurikulum atau ahli bidang studi
(disiplin ilmu); (b) kelompok terpilih yang terdiri dari ahli pendidikan dan
guru-guru terpilih; (c) semua personil profesional dalam sistem persekolahan;
dan (d) personil profesional dan tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih.
(iii)
Pengorganisasian dan prosedur
pengembangan kurikulum, dengan kegiatan sebagai berikut: (a)membentuk tim
pengembang kurikulum;(b) menilai kurikulum yang sedang berlaku;(c) studi awal
tentang isi kurikulum baru dan alternatifnya;(d) merumuskan kriteria untuk
memutuskan hal-hal yang dapat masuk dalam kurikulum baru; dan (e)tim pengembang
menyusun dan menulis kurikulum.
(iv)
Implementasi kurikulum, yakni kegiatan
untuk menerapkan kurikulum seperti yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup
pengembangan kurikulum.
(v)
Evaluasi kurikulum, yakni kegiatan yang
memiliki 4 (empat) dimensi yang terdiri dari (a)evaluasi guru-guru yang
menggunakan kurikulum;(b) evaluasi rancangan kurikulum;(c) evaluasi hasil
belajar pebelajar;(d) evaluasi sistem pengembangan kurikulum. Data yang
berhasil dikumpulkan melalui kegiatan evaluasi akan digunakan untuk memperbaiki
proses pengembangan kurikulum dan untuk kontinuitas kurikulum. (Zais,1976:453;
Nana Sy. Sukmadinata, 1988:181-182)
4.
Model Arah-terbalik Taba (Taba’s
Inverted Model)
Sesuai
dengan namanya model pengembangan kurikulum ini terbalik dari yang lazim
dilaksanakan, yakni dari biasanya dilakukan secara deduktif dibalik menjadi
induktif. Menurut model Taba, pengembangan kurikulum dilaksanakan dalam lima
langkah:
(i)
Membuat unit-unit percobaan (Producing
Pilot Units), yakni suatu kegiatan membuat eksperimen unit-unit percobaan
melalui kelompok guru yang dijadikan contoh melalui penyajian dalam
tingkat/kelas tertentu dan pokok bahasan tertentu dengan pengamatan yang
seksama. Langkah awal ini merupakan jalinan awal antara teori dan praktek.
(ii)
Menguji unit-unit eksperimen (Testing
Experimental Units), yakni kegiatan untuk menguji ulang unit-unit yang telah
digunakan oleh guru yang membuatnya guru di kelas itu sendiri, di kelas lain
atau kelas yang berbeda. Uji-ulang ini perlu dilakukan dalam kondisi yang
bervariasi. Uji-ulang ini akan memberikan saran-saran untuk modifikasi,
alternatif pilihan isi, dan pengalaman belajar serta bahan yang digunakan untuk
akomodasi oleh pebelajar yang berlainan.
(iii)
Merevisi dan mengkonsolidasi, yakni
kegiatan lanjutan uji-coba. Merevisi berarti mengadakan perbaikan dan
penyempurnaan pada unit yang dicobakan, sehingga dapat disajikan suatu
kurikulum untuk semua jenis kelas. Mengkonsolidasi berarti mengadakan penyimpulan
tentang hasil percobaan yang memungkinkan digunakannya unit-unit tersebut dalam
lingkup yang lebih luas.
(iv)
Mengembangkan jaringan kerja, yakni
kegiatan yang dilakukan untuk lebih meyakinkan apakah unit-unit yang telah
direvisi dan dikonsolidasikan dapat digunakan lebih luas atau tidak. Untuk itu
perlu dilakukan uji/penilaian mengenai sekuensi dan lingkupnya oleh orang yang
berkompeten dalam pengembangan kurikulum, dalam hal ini adalah ahli kurikulum.
(v)
Memasang dan mendeseminasi unit-unit
baru, yakni kegiatan untuk menerapkan dan menyebarluaskan unit-unit baru yang
dihasilkan. Agar dapat digunakan dan disebarluaskan secara tepat maka perlu
dilakukan penyiapan guru-guru yang akan menggunakannya melalui pelatihan
jabatan.
5.
Model Rogers
Carl
Rogers adalah seorang ahli psikologi yang berpandang bahwa manusia dalam proses
perubahan (becoming, developing, changing) yang mempunyai kekuatan dan potensi
untuk berkembang sendiri (Nana Sy. Sukmadinata, 1988:184). Berdasarkan
pandangan tentang manusia, maka Rogers mengemukakan model pengembangan
kurikulum yang disebut Model Relasi Interpersonal Rogers (Rogers Interpersonal
Relation Model).
Model
Relasi Interpersonal Rogers terdiri dari empat langkah pengembangan kurikulum,
yakni : (i) pemilihan satu sistem pendidikan sasaran, (ii) pengalaman kelompok
yang intensif bagi guru, (iii) pengembangan suatu pengalaman kelompok yang
intensif bagi satu kelas atau unit pelajaran, dan (iv) melibatkan orang tua
dalam pengalaman kelompok yang intensif. Apabila kita perhatikan langkah-langkah
dalam model relasi interpersonal ini, tidak satupun yang mengemukakan tentang
rancangan tertulis.
Rogers
lebih mementingkan kegiatan pengembangan kurikulum daripada rancangan
pengembangan kurikulum tertulis, yakni melalui aktivitas dan interaksi dalam
pengalaman kelompok intensif yang terpilih.
D.
Guru
dan Pengembangan Kurikulum
1.
Pembelajaran dan kurikulum
Banyak
ahli mengemukakan bahwa pembelajar merupakan implementasi kurikulum, tapi
banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri merupakan
kurikulum sebagai aksi/kegiatan. Untuk memperjelas hubungan antara pembelajaran
dan kurikulum, kita mulai dari melihat hakikat keduanya. Hakikat pembelajaran
diantaranya adalah:
(i)
Kegiatan yang dimaksud untuk
membelajarkan pebelajar;
(ii)
Program pembelajaran yang dirancang dan
diimplementasikan sebagai suatu sistem;
(iii)
Kegiatan yang dimaksudkan untuk
memberikan pengalaman belajar terhadap pebelajar;
(iv)
Kegiatan yang mengarahkan pebelajar ke
arah pencapaian tujuan pembelajaran; dan
(v)
Kegiatan yang melibatkan
komponen-komponen tujuan, isi pelajaran, sistem penyajian, dan sistem evaluasi
dalam realisasinya.
Hakikat
pembelajaran sebagaimana diuraikan pada alinea sebelumnya, harus kita
pertentangkan dengan hakikat kurikulum:
(i)
kurikulum sebagai jalan untuk meraih
ijazah;
(ii)
kurikulum sebagai mata dan isi
pelajaran;
(iii)
kurikulum sebagai rencana kegiatan
pembelajaran;
(iv)
kurikulum sebagai hasil belajar; dan
(v)
kurikulum sebagai pengalaman belajar.
Dari
mempertentangkan dan membandingkan hakikat kurikulum dan pembelajaran, kita
dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran dan kurikulum merupakan dua konsep yang
tak terpisahkan satu dengan yang lain (Johnson dalam Zais, 1976:10). Sebagai
dua konsep yang tak dibedakan, baik pembelajaran maupun kurikulum dapat dalam
wujud rencana juga dapat berwujud kegiatan. Guru sebagai orang yang
berkewajiban merencanakan pembelajaran (instruction planning) selalu mengacu
kepada komponen-komponen kurikulum yang berlaku.
2.
Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Dari berbagai model
pengembangan kurikulum yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya,
sebagian besar model melibatkan guru dalam pengembangan kurikulum. Keterlibatan
guru dalam model-model pengembangan kurikulum tersebut tentunya bukanlah
kebetulan belaka. Guru adalah orang yang tahu persis situasi dan kondisi
diterpkannya kurikulum yang berlaku. Selain itu, guru bertanggung jawab atas
tercapainya hasil belajar yang diinginkan (Raka Joni, 1980:26).
Berdasarkan kenyataan
bahwa guru tahu situasi dan kondisi serta bertanggungjawab atas tercapainya
hasil belajar, maka sudah sewajarnya guru berperan dalam pengembangan kurikulu.
Peran guru dalam pengembangan kurikulum diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan
berikut:
(i)
Merumuskan tujuan khusus pengajaran
berdasarkan tujuan kurikulum di atasnya dan karakteristik pebelajar, mata
pelajaran/bidang studi, dan karakteristik situasi kondisi sekolah/kelas.
(ii)
Merencanakan kegiatan pembelajaran yang
dapat secara efektif membantu pebelajar mencapai tujuan yang ditetapkan.
(iii)
Menerapkan rencana/ program pembelajaran
yang dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang nyata.
(iv)
Mengevaluasi hasil dan proses belajar
pada pebelajar.
(v)
Mengevaluasi interaksi antara
komponen-komponen kurikulum yang diimplementasikan.
Lima kegiatan di atas
merupakan peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi.
Sedangkan dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi peran guru
lebih besar, yakni mencakup pengembangan keseluruhan komponen-komponen
kurikulum dalam perencanaan, mengimplementasikan kurikulum yang dikembangkan,
mengevaluasi implementasi kurikulum, dan merevisi komponen-komponen kurikulum
yang kurang memadai.
Thank's Banget yah gan udah bantu gue..
ReplyDeleteTOP DAH..